Tahukah Anda? 16.6% Korban Kekerasan Rumah Tangga Di Hong Kong Adalah Pria Di 6 Bulan Pertama Tahun 2022
Berbicara tentang kekerasan rumah tangga pasti banyak yang beranggapan sebagian besar korban adalah kaum wanita. Namun di Hong Kong jumlah kekerasan rumah tangga pada korban pria semakin meningkat. Pada bulan Januari - Juni 2022 Departemen Kesejahteraan Sosial Hong Kong (Social Welfare Department) 社會福利署 (se5 wui2 fuk1 lei6 chyu5) telah menerima 975 laporan kasus terkait kekerasan terhadap pasangan atau kekasih yang tinggal dalam 1 rumah, dan di antaranya terdapat 162 korban yaitu 16.6% adalah pria.
Sebagian besar dengan penyiksaan mental
Sebuah organisasi Hong Kong yang memberi perlindungan kepada kaum wanita dan anak-anak yang menjadi korban kekerasan keluarga yaitu Harmony House 和諧之家 (wo4 haai4 ji1 ga1) berhasil mewawancarai 58 penduduk Hong Kong pria pada bulan Juni 2021 - Maret 2022 yang menjadi korban kekerasan rumah tangga. Dalam hasil wawancara tersebut, 94.8% dari pria-pria tersebut pernah mendapat siksaan berupa penyiksaan secara mental oleh pasangannya, 67.2% pernah menerima kekerasan secara fisik dan 17.2% dipaksa untuk melakukan hubungan seksual. Sebagian dari mereka menyatakan pernah dipukul atau digigit oleh pasangan atau mantan pasangannya, bahkan ada yang meminta uang kepada pasangan dengan ancaman nyawa anak-anaknya, seperti mengancam melompat dari gedung bersama anak-anaknya.
Sebagian besar memiliki gelar sarjana ke atas
Dari hasil wawancara kepada 58 pria tersebut, terdapat 65.5% memiliki tingkat pendidikan S1 ke atas, sebagian dari mereka bahkan adalah guru, petugas pemadam kebakaran, pekerja seni, pekerja profesional dan lainnya. Selain itu terdapat 27.6% korban telah mengalami penyiksaan 2-3 tahun baru meminta pertolongan kepada polisi, pekerja sosial atau profesional lainnya, 10.3% di tahun ke 4-6, 6.9% di tahun ke 7-9 dan 1.7 % setelah 10 tahun.
Banyak korban kekerasan rumah tangga pria yang tersembunyi
Harmony House menyatakan bahwa banyak korban kekerasan rumah tangga pria merasa malu untuk menceritakan atau meminta pertolongan kepada pihak lain. Sebagian dari pria yang diwawancarai menyatakan bahwa mereka pernah meminta pertolongan kepada teman-teman mereka, tetapi setelah itu mereka ditertawakan dan menganggap mereka adalah pria yang lemah dan memandang rendah korban tersebut.