Merekam Suara Dan Gambar Dalam Pengadilan Hong Kong Merupakan Suatu Tindakan Kriminal Yang Berat
Pada tanggal 1 September 2020 ada sebuah kasus seorang pria berusia 55 tahun warga negara Indonesia ditangkap oleh kepolisian Hong Kong karena melakukan perekaman suara dan gambar dan kemudian mengirimkan ke temannya melalui WhatsApp sewaktu pengadilan berlangsung di Pengadilan Tinggi Hong Kong di Admiralty.
Hakim pada pengadilan tersebut mengetahui pria tersebut sedang melakukan perekaman karena dengan tidak sengaja pria ini memutarkan suara yang telah direkam dengan pengeras suara telepon genggam. Karena merekam gambar atau suara sewaktu proses pengadilan berlangsung dianggap melanggar peraturan "Perverting the course of justice" atau "Contempt of court" yang berarti perbuatan tersebut akan mengganggu keadilan dari keputusan pengadilan atau melakukan penghinaan kepada pengadilan, maka pria tersebut pada akhirnya diserahkan kepada kantor pusat kepolisian Hong Kong (Central Police District Headquarters) untuk dilakukan penyelidikan.
Pria tersebut tinggal di Hong Kong dengan status sebagai "Torture claimant" yaitu orang yang telah meminta suaka politik kepada pemerintah Hong Kong. Dia menyatakan tidak mengerti kalau di pengadilan Hong Kong tidak diperbolehkan melakukan perekaman suara atau gambar dan meminta maaf. Mengingat perbuatan tersebut merupakan tindakan kriminal yang cukup berat di Hong Kong, maka kepolisian Hong Kong tetap melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap pria tersebut.
Sanksi dan denda untuk pelanggar peraturan "Perverting the course of justice" Hong Kong bisa dikatakan tidak ada batasnya, yang berarti sanksi tertinggi adalah penjara seumur hidup.